Perbincangan tentang kripto semakin populer dalam beberapa tahun terakhir. Banyak kaum muda yang tertarik untuk investasi kripto, karena dinilai lebih menguntungkan daripada investasi saham. Hingga Juni 2025, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat jumlah investor kripto di Indonesia sudah mencapai 15,85 juta, meningkat 5,18% dibanding bulan sebelumnya.
Namun, di balik potensi keuntungan yang menggiurkan, kripto juga membawa tantangan bagi pemerintah dalam menyusun regulasi pajak yang adaptif di tengah pesatnya perkembangan ekonomi digital. Pasalnya, regulasi disusun tidak semata-mata untuk meningkatkan penerimaan negara, tetapi juga menciptakan ekosistem ekonomi digital yang sehat dan adil.
Baca juga: Executive Tax Class Jakarta
Sebelumnya, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024 penyerahan aset kripto dikategorikan sebagai barang kena pajak (BKP) tidak berwujud (komoditas) dan dikenai PPN. Namun, dengan diterbitkannya PMK 50/2025 penyerahan aset kripto dipersamakan dengan surat berharga sehingga tidak lagi dikenai PPN. Ketentuan ini berlaku mulai 1 Agustus 2025.
Lalu, apakah penyerahan jasa kena pajak (JKP) yang terkait dengan transaksi aset kripto juga dibebaskan dari pengenaan PPN? Tidak ya sobat MTC, jasa-jasa tersebut tetap menjadi objek PPN! Untuk lebih jelasnya, yuk simak pembahasan berikut ini.
Jasa Penyediaan Sarana Elektronik/Platform oleh PPMSE
Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) adalah pihak yang menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan sarana elektronik untuk transaksi perdagangan aset kripto. Sarana elektronik kripto umumnya hadir dalam bentuk aplikasi atau situs web, seperti Indodax dan Tokocrypto yang memfasilitasi pengguna dalam melakukan:
- Jual beli aset kripto menggunakan mata uang fiat
- Tukar-menukar aset kripto dengan aset kripto lainnya (swap)
- Penyimpanan dana, penarikan dana, serta transfer aset kripto melalui dompet elektronik (e-wallet).
PPN yang terutang atas penyerahan jasa penyediaan sarana elektronik dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh PPMSE yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Adapun, PPN yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif 12% dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) nilai lain sebesar 11/12 dari penggantian (komisi/imbalan).
Jasa Verifikasi Transaksi (Mining) oleh Penambang Aset Kripto
Berdasarkan Pasal 1 angka 20 PMK 50/2025, penambang aset kripto adalah orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan verifikasi transaksi aset kripto untuk mendapatkan imbalan berupa aset kripto. Kegiatan ini dapat dilakukan sendiri maupun bersama-sama dalam suatu kelompok yang dikenal sebagai mining pool.
Atas jasa verifikasi tersebut, penambang aset kripto yang telah dikukuhkan sebagai PKP memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dengan besaran tertentu.
Pasal 8 ayat (2) PMK 50/2025 mengatur bahwa besaran tertentu ditetapkan sebesar 20% dikali 11/12 dari tarif PPN dikalikan dengan DPP berupa penggantian. Penggantian yang dimaksud adalah nilai berupa uang atas aset kripto yang diterima oleh penambang, termasuk block reward.
Baca juga: PMK 15/2025 tentang Pemeriksaan Pajak Berlaku, Begini Detailnya
Contoh Perhitungan
Pada 12 Agustus 2025, Luthfi membeli 0,5 Ethereum (ETH) melalui platform X yaitu penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PPMSE). Harga 1 ETH pada saat transaksi adalah Rp70.000.000, sehingga nilai transaksi Luthfi adalah 0,5 x Rp70.000.000 yaitu Rp35.000.000. Platform X mengenakan biaya administrasi (service fee) sebesar 1% dari nilai transaksi. Diminta:
- Hitung PPN terutang yang harus dipungut oleh platform X dari Luthfi.
- Tentukan DPP atas jasa penyediaan sarana elektronik oleh platform
- Sebutkan kewajiban platform X terkait pemungutan PPN tersebut.
Perhitungan PPN atas Penyerahan Aset Kripto
Mulai 1 Agustus 2025, penyerahan aset kripto dipersamakan dengan surat berharga sehingga tidak dikenai PPN sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) PMK 50/2025.
Perhitungan PPN atas Jasa PPMSE
- Biaya administrasi (service fee) = 1% x Rp35.000.000 = Rp350.000
- DPP = 11/12 × Rp350.000 = Rp320.833
- PPN = 12% × Rp320.833 = Rp38.500
Jadi, PPN yang terutang atas jasa penyediaan sarana elektronik oleh platform X adalah Rp38.500.
Kewajiban Platform X
Platform X selaku PPMSE wajib memungut PPN sebesar Rp38.500 dari Luthfi, menyetorkan PPN yang dipungut ke kas negara, serta melaporkannya dalam SPT Masa PPN.
Tak Lagi Kena PPN, Tetap Wajib Bayar PPh
Selain mengatur PPN, PMK 50/2025 juga memuat ketentuan mengenai Pajak Penghasilan (PPh) yang dikenakan atas penghasilan dari transaksi aset kripto, baik yang diterima oleh penjual, PPMSE, maupun penambang aset kripto.
Pada regulasi sebelumnya, penghasilan dari penjualan aset kripto dikenai PPh Pasal 22 final dengan tarif 0,1% untuk perdagangan di Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) dan 0,2% untuk perdagangan di non-Bappebti.
Namun, sejak diterbitkannya PMK 50/2025, penghasilan dari penjualan aset kripto dikenai PPh Pasal 22 final dengan tarif yang lebih tinggi, yaitu sebesar 0,21% dari nilai transaksi apabila dilakukan melalui PPMSE dalam negeri dan sebesar 1% apabila transaksi dilakukan melalui PPMSE luar negeri.
Dirjen Pajak Bimo Wijayanto menegaskan “Pengenaan tarif PPh Pasal 22 final memang sedikit naik, karena untuk mengompensasi hilangnya PPN sehingga level playing field tetap sama.”
Baca juga: Pajak Karbon: Senjata Ampuh dalam Mengatasi Krisis Iklim dan Mewujudkan Green Economy
Lebih lanjut, perlakuan PPh untuk penambang aset kripto juga mengalami perubahan. Pada regulasi sebelumnya, penghasilan yang diterima penambang aset kripto (seperti block reward atau transaction fee) dikenai PPh Pasal 22 final sebesar 0,1%.
Mulai tahun pajak 2026, sesuai ketentuan Pasal 25 ayat (1) PMK 50/2025, penambang aset kripto akan dikenai PPh berdasarkan tarif Pasal 17 UU PPh.
Kepala Seksi Peraturan Pemotongan dan Pemungutan PPh II DJP Ilmiantio Himawan mengatakan “Karena terjadi perubahan rezim dari final menjadi tidak final, ketentuan baru mengenai PPh mining akan berlaku mulai tahun depan.”
Di sisi lain, perlakuan PPh untuk PPMSE tidak mengalami perubahan dari PMK 81/2024. Penghasilan yang diterima dari penyediaan sarana elektronik (seperti komisi atau imbalan jasa) tetap dikenai PPh berdasarkan tarif Pasal 17 UU PPh dan wajib dilaporkan dalam SPT Tahunan PPMSE sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (4) PMK 50/2025.
Ringkasan Poin Perubahan Ketentuan Perpajakan Aset Kripto
Untuk memudahkan sobat MTC mengetahui perbedaan perlakuan PPN dan PPh atas transaksi aset kripto dalam PMK 81/2024 dan PMK 50/2025, dapat dilihat pada tabel berikut.
Sebelum(PMK 81/2024) |
Sesudah(PMK 50/2025) |
|
Penjualan
|
PPh Pasal 22 final: · 0,1% (Bappebti) · 0,2% (Non-Bappebti) |
PPh Pasal 22 final: · 0,21% dari nilai transaksi aset kripto (dalam negeri). · 1% dari nilai transaksi aset kripto (luar negeri). |
Pembelian | Besaran tertentu PPN:
· 0,11% (Bappebti) · 0,22% (Non-Bappebti) |
PPN:
Tidak dikenai PPN |
Jasa Platform | · Ketentuan Umum PPN
· Dikenai PPh berdasarkan tarif Pasal 17 UU PPh. |
· Ketentuan Umum PPN
· Dikenai PPh berdasarkan tarif Pasal 17 UU PPh. |
Jasa Mining | · Besaran tertentu PPN 1,1%
· PPh final 0,1% |
· Besaran tertentu PPN 2,2%
· Dikenai PPh berdasarkan tarif Pasal 17 UU PPh. |
Baca juga: Hybrid Tax Class Jakarta
Benarkah Beban Pajak Jadi Ringan?
Penghapusan PPN atas transaksi aset kripto memang terdengar melegakan. Namun, beban pajak tidak otomatis menjadi ringan, sebab pemerintah menggantinya dengan pengenaan tarif PPh Pasal 22 final yang lebih tinggi. Selain itu, jasa-jasa terkait seperti penyediaan sarana elektronik dan mining tetap dikenai PPN. Artinya, meski lebih sederhana dari sisi administrasi, secara keseluruhan beban yang ditanggung wajib pajak bisa jadi lebih besar dibanding sebelumnya.
***
Penulis: Anggita Mutiara Sari Siregar
REFERENSI: