Begini Ketentuan Lengkap terkait Pajak UMKM dalam PMK 164/2023

Peran UMKM Terhadap Perekonomian Indonesia

Kita semua pasti sudah tidak asing lagi mendengar istilah UMKM. UMKM adalah singkatan dari Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. UMKM merupakan salah satu pilar penting dalam perekonomian Indonesia. Berdasarkan data dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, sektor UMKM memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 61% atau senilai dengan Rp9.580 triliun. Hal ini menunjukkan kontribusi UMKM terhadap perekenomian Indonesia sangatlah besar, bahkan jauh melampaui dari industri-industri manufaktur skala raksasa.

Selain itu, sektor UMKM juga terbukti mampu menyerap lebih kurang 117 juta pekerja atau 97% dari total tenaga kerja yang ada, sehingga dapat mengurangi jumlah pengangguran. Tidak heran, kalau UMKM sering disebut sebagai “Tulang Punggung Ekonomi Nasional,” karena perannya yang sangat krusial dalam pembangunan ekonomi Indonesia.

Baca juga: Jangan Pasang Reklame Sembarangan! Kenali Dulu Aturan Pajaknya

Apakah UMKM dikenakan Pajak?

Sebagai sektor usaha yang paling dominan di Indonesia, tentu saja UMKM dikenakan pajak. Pelaku UMKM umumnya dikenakan pajak penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat (2) atau yang biasa disebut dengan PPh final.

Sebelumnya, aturan terkait PPh final UMKM diatur dalam PP 23/2018, dimana pelaku UMKM yang memiliki omzet sampai dengan Rp4,8 miliar dalam 1 tahun, dikenakan tarif PPh final sebesar 0,5%.

Namun, sejak Desember 2022 aturan tersebut dicabut dan digantikan dengan PP 55/2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan. PP 55/2022 merupakan aturan turunan dari Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Dalam aturan ini dijelaskan bahwa wajib pajak orang pribadi (WP UMKM) yang memiliki omzet sampai dengan Rp500 juta dalam 1 tahun, dibebaskan dari pengenaan PPh final 0,5%.

Selanjutnya, untuk memberikan kesinambungan dan panduan dalam pelaksanaan perpajakan, pemerintah mengeluarkan PMK 164/2023 tentang Tata Cara Pengenaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu dan Kewajiban Pelaporan Usaha untuk Dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

PMK 164/2023 ini mulai berlaku sejak tanggal 29 Desember 2023 dan merupakan aturan pelaksana dari Pasal 57 ayat (5), Pasal 62 ayat (4), dan Pasal 63 ayat (3) PP 55/2022.

Nah, pada kesempatan kali ini kita akan fokus membahas terkait aturan pajak UMKM dalam PMK 164/2023.

Baca juga: Reformasi Perpajakan, Coretax System Berlaku 1 Juli 2024

Tujuan PMK 164/2023

PMK 164/2023 bertujuan untuk memberikan keadilan, kepastian hukum, dan kemudahan administratif bagi para pelaku usaha di Indonesia, sehingga kedepannya diharapkan mampu untuk meningkatkan kinerja, daya saing, dan mendukung pertumbuhan UMKM.

Hal ini juga disampaikan oleh Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Dwi Astuti bahwa dengan diterbitkannya PMK 164/2023, pemerintah memperjelas dan mempermudah berbagai ketentuan teknis menyangkut pengenaan PPh final bagi wajib pajak yang memiliki omzet/peredaran bruto tertentu.

Ketentuan Pajak UMKM dalam PMK 164/2023

1. Objek dan Subjek Pajak

Berdasarkan Pasal 3 PMK 164/2023, wajib pajak dalam negeri yang menerima penghasilan dari usaha dengan omzet tertentu dikenai PPh final dalam jangka waktu tertentu. Dimana, tarif PPh final yang dimaksud adalah sebesar 0,5%.

Pengecualian untuk Penghasilan yang Tidak Dikenakan PPh Final UMKM 0,5%:
  1. Penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas
  2. Penghasilan dari luar negeri
  3. Penghasilan yang telah dikenai PPh final
  4. Penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak
Jasa Sehubungan dengan Pekerjaan Bebas, meliputi:
  1. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri atas pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, pejabat pembuat akta tanah, penilai, dan aktuaris.
  2. Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari.
  3. Olahragawan
  4. Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator
  5. Pengarang, peneliti, dan penerjemah
  6. Agen iklan
  7. Pengawas atau pengelola proyek
  8. Perantara
  9. Petugas penjaja barang dagangan
  10. Agen asuransi
  11. Distributor perusahaan pemasaran berjenjang atau penjualan langsung dan kegiatan sejenis lainnya.
Kriteria Wajib Pajak yang Dikenakan PPh Final UMKM 0,5%
  1. Wajib pajak orang pribadi (termasuk UMKM)
  2. Wajib pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, perseroan terbatas termasuk perseroan perorangan yang didirikan oleh 1 orang, atau badan usaha milik desa/badan usaha milik desa bersama, yang menerima penghasilan dengan omzet tidak lebih dari Rp4,8 miliar dalam 1 tahun.
Kriteria Wajib Pajak yang Tidak Dikenakan PPh Final UMKM 0,5%
  1. Wajib pajak yang memilih untuk menggunakan perhitungan tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) UU PPh.
  2. Wajib pajak badan berbentuk persekutuan komanditer atau firma yang dibentuk oleh beberapa wajib pajak orang pribadi yang memiliki keahlian khusus yang menyerahkan jasa yang sejenis dengan jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas.
  3. Wajib pajak badan yang memperoleh fasilitas PPh berdasarkan:
    – Pasal 31A UU PPh
    – PP 94/2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan beserta perubahan atau penggantinya.
    – Pasal 75 dan Pasal 78 PP 40/2021 tentang Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus beserta perubahan atau penggantinya.
    – Wajib pajak bentuk usaha tetap (BUT)

2. Cara Pemberitahuan Wajib Pajak yang Memilih Dikenakan PPh

Pada Pasal 5 PMK 164/2023 dijelaskan bahwa wajib pajak yang menerima penghasilan dengan omzet tidak lebih dari Rp4,8 miliar dalam 1 tahun dapat memilih untuk dikenai tarif PPh berdasarkan Pasal 17 ayat (1) UU PPh dan tidak lagi dikenakan PPh final 0,5% dari omzet.

Hal ini dapat dilakukan dengan cara menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada DJP melalui kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat wajib pajak terdaftar. Penyampaian pemberitahuan tersebut dapat dilakukan:

  1. Secara langsung
  2. Melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.
  3. Secara elektronik

Perlu diingat bahwa penyampaian pemberitahuan dilakukan paling lambat pada akhir tahun pajak, sehingga wajib pajak yang menyampaikan pemberitahuan tersebut dikenai PPh berdasarkan tarif Pasal 17 ayat (1) UU PPh mulai tahun pajak berikutnya.

Baca juga: Beli Tiket Konser Bruno Mars? Artinya Kamu Ikut Sumbang Pajak Ke Daerah

3. Cara Penghitungan PPh Final UMKM

Pada Pasal 6 PMK 164/2023 dijelaskan bahwa Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yang digunakan untuk menghitung PPh final UMKM adalah jumlah omzet atas penghasilan dari usaha setiap bulan.

Omzet yang dimaksud adalah imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima dari usaha, sebelum dikurangi potongan penjualan, potongan tunai, dan/atau potongan sejenisnya. Untuk cara perhitungannya adalah sebagai berikut:

PPh Final : 0,5% x Omzet per Bulan

Lebih lanjut dijelaskan, bagi wajib pajak orang pribadi yang memiliki omzet sampai dengan Rp500 juta dalam 1 tahun, maka tidak dikenai PPh. Namun, jika jumlah omzet sudah melebihi Rp500 juta dan tidak lebih dari Rp4,8 miliar, maka wajib pajak UMKM harus menghitung, membayar, dan melaporkan PPh final dengan menggunakan tarif 0,5% tersebut. Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada contoh soal berikut ini:

Soal:

Ibu Annisa adalah seorang pengusaha bakery dan pastry. Sepanjang tahun 2024, omzet dari usaha yang dijalankan oleh Ibu Annisa mencapai Rp650 juta. Bagaimana penghitungan pajak atas penghasilan usaha yang diterima oleh Ibu Annisa?

Penyelesaian:

Berdasarkan soal dapat diketahui bahwa Ibu Annisa memiliki omzet di atas Rp500 juta dan dikenakan tarif PPh Final UMKM sebesar 0,5% dengan rincian perhitungan:

0,5% x (Omzet Tahunan – Batas Omzet Tidak Kena PPh Final)

= 0,5% x (Rp650juta – Rp500 juta) = Rp750.000

Jadi, PPh final yang dibayarkan oleh Ibu Annisa dalam setahun untuk penghasilan dari usaha bakery dan pastry adalah sebesar Rp750.000.

Cara Penghitungan PPh Final bagi Suami-Istri yang Sama-Sama Menjalankan Bisnis UMKM

Ketentuan pengenaan PPh final bagi suami-istri yang sama-sama menjalankan bisnis UMKM diatur dalam Pasal 6 ayat (5) PMK 164/2023 yang berbunyi “Dalam hal wajib pajak orang pribadi merupakan suami-istri yang menghendaki perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis; atau istrinya menghendaki memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri. bagian omzet atas penghasilan dari usaha yang tidak dikenai PPh diberlakukan untuk masing-masing suami dan istri.” Berikut contoh penghitungannya:

Soal:

Pak Bima dan Ibu Farah adalah suami-istri yang memilih untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya sendiri-sendiri (MT), Pak Bima memiliki usaha cafe, sedangkan Ibu Farah memiliki usaha toko tas. Dalam contoh ini, Pak Bima dan Ibu Farah selaku wajib pajak orang pribadi UMKM sama-sama memenuhi persyaratan untuk dikenai PPh final UMKM sesuai dengan PMK 164/2023 pada tahun pajak 2024.

Sepanjang 2024, omzet usaha cafe Pak Bima mencapai Rp900 juta. Adapun, omzet toko tas Ibu Farah pada 2024 sebesar Rp700 juta. Bagaimana penghitungan pajak atas penghasilan usaha yang diterima oleh Pak Bima dan Ibu Farah?

Penyelesaian:

Pak Bima
Berdasarkan soal dapat diketahui bahwa omzet usaha sebesar Rp900 juta, maka Pak Bima berhak mendapatkan fasilitas omzet tidak kena pajak senilai Rp500 juta sehingga dasar pengenaan pajak (DPP) untuk tahun 2024 adalah senilai Rp400juta (Rp900 juta – Rp500juta). Dengan DPP tersebut, PPh final yang harus dibayar oleh Pak Bima dalam setahun adalah Rp2 juta.

Ibu Farah
Sama halnya seperti Pak Bima, dengan adanya fasilitas omzet tidak kena pajak senilai Rp500 juta, maka DPP untuk tahun 2024 adalah senilai Rp200 juta (Rp700 juta – Rp500 juta). Dengan DPP tersebut, PPh final yang harus dibayar oleh Ibu Farah adalah senilai Rp1 juta. Untuk penjelasan lebih rincinya dapat kita lihat pada tabel di bawah ini:

  • Pak Bima
No. Bulan Omzet (Rp) Bagian Omzet Tidak Kena PPh (Rp) DPP (Rp) PPh final (Rp)
1. Januari 65.000.000  

 

500.000.000

2. Februari 100.000.000
3. Maret 80.000.000
4. April 70.000.000
5. Mei 105.000.000
6. Juni 80.000.000
7. Juli 60.000.000 60.000.000 300.000
8. Agustus 80.000.000 80.000.000 400.000
9. September 45.000.000 45.000.000 225.000
10. Oktober 60.000.000 60.000.000 300.000
11. November 70.000.000 70.000.000 350.000
12. Desember 85.000.000 85.000.000 425.000
Jumlah 900.000.000 500.000.000 400.000.000 2.000.000
  • Ibu Farah
No. Bulan Omzet (Rp) Bagian OmzetTidak Kena PPh (Rp) DPP (Rp) PPh final (Rp)
1. Januari 40.000.000  

 

 

500.000.000

2. Februari 25.000.000
3. Maret 60.000.000
4. April 70.000.000
5. Mei 35.000.000
6. Juni 50.000.000
7. Juli 80.000.000
8. Agustus 40.000.000
9. September 100.000.000
10. Oktober 75.000.000 75.000.000 375.000
11. November 45.000.000 45.000.000 225.000
12. Desember 80.000.000 80.000.000 400.000
Jumlah 700.000.000 500.000.000 200.000.000 1.000.000
Baca juga: Pajak Karbon: Senjata Ampuh dalam Mengatasi Krisis Iklim dan Mewujudkan Green Economy

4. Cara dan Batas Waktu Penyetoran PPh Final UMKM

Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) PMK 164/2023 PPh final yang terutang dapat dilunasi dengan 2 cara, yaitu:

  1. Disetor sendiri oleh wajib pajak
  2. Dipotong/dipungut oleh pemotong/pemungut PPh

PPh final UMKM ini wajib dibayarkan serta disetorkan ke kas negara setiap bulannya paling lambat tanggal 15 pada bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Sedangkan, untuk SPT Masa PPh Unifikasi harus dilaporkan paling lama 20 hari setelah masa pajak berakhir.

Wajib pajak UMKM yang dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT Masa PPh Unifikasi disebabkan karena:

  • Tidak memiliki penghasilan dari usaha
  • Hanya melakukan transaksi yang dilakukan pemotongan/pemungutan PPh
  • Omzet atas penghasilan dari usaha secara kumulatif sejak masa pertama belum melebihi Rp500 juta.

5. Surat Pernyataan Bebas Pemotongan/Pemungutan PPh Final UMKM

Pasal 8 ayat (2) PMK 164/2023 menjelaskan bahwa pemotong atau pemungut PPh tidak melakukan pemotongan atau pemungutan PPh terhadap wajib pajak yang memiliki omzet tertentu atas transaksi penjualan barang atau penyerahan jasa yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi yang memiliki omzet atas penghasilan dari usaha tidak lebih dari Rp500 juta.

Kemudian, agar tidak dikenai pemotongan/pemungutan PPh, wajib pajak orang pribadi UMKM harus menyampaikan surat pernyataan yang menyatakan bahwa omzet atas penghasilan dari usaha wajib pajak pada saat dilakukan pemotongan atau pemungutan PPh tidak lebih dari Rp500 juta, bunyi Pasal 8 ayat (4) PMK 164/2023.

Meskipun, tidak dilakukan pemotongan/pemungutan PPh final UMKM, pihak pemotong/pemungut tetap menerbitkan bukti pemotongan/pemungutan dengan nilai PPh nihil.

Jika Pernyataan Omzet Rp500 juta Tidak Benar

Dalam hal wajib pajak orang pribadi yang telah menyampaikan surat pernyataan, namun pada kenyataannya memiliki omzet lebih dari Rp500 juta setahun, maka wajib pajak yang bersangkutan harus menyetorkan sendiri PPh final yang seharusnya dipotong/dipungut sesuai dengan bulan dilakukannya transaksi penjualan barang atau penyerahan jasa. Hal ini diatur dalam Pasal 8 ayat (8) PMK 164/2023.

6. Pelaporan SPT Tahunan Bagi Wajib Pajak UMKM

Mengacu pada Pasal 9 ayat (1) PMK 164/2023 ditegaskan bahwa wajib pajak UMKM yang memiliki omzet tidak lebih dari Rp4,8 miliar wajib melaporkan SPT Tahunan, serta menyampaikan laporan omzet usaha dan PPh final sebagai lampiran.

“Apabila dalam laporan omzet usaha terdapat kelebihan pembayaran PPh final oleh wajib pajak orang pribadi UMKM, karena diperhitungkannya bagian omzet atas penghasilan usaha yang tidak dikenai PPh, maka wajib pajak yang bersangkutan berhak untuk mengajukan permohonan pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang,” isi dari Pasal 9 ayat (2) PMK 164/2023.

Lebih lanjut dijelaskan pada Pasal 9 ayat (3) PMK 164/2023, yaitu jika wajib pajak tidak menyampaikan laporan omzet usaha dan PPh final sebagai lampiran SPT Tahunan, maka wajib pajak akan dikenai sanksi administratif.

Baca juga: Menilik Perlakuan Pajak Penghasilan atas Beasiswa

7. Cara Pengajuan Permohonan dan Penerbitan Surat Keterangan

Sebelumnya, kita sudah bahas terkait dengan surat pernyataan. Sekarang, kita akan masuk ke pembahasan terkait dengan surat keterangan (suket). Perlu diingat, bahwa surat pernyataan dan suket adalah 2 hal yang berbeda. Berikut dapat kita lihat perbedaannya:

Surat Pernyataan Surat Keterangan
Menerangkan bahwa omzet dari kegiatan usaha wajib pajak orang pribadi UMKM tidak melebihi Rp500 juta, ketika bertransaksi dengan pihak pemotong/pemungut pajak. Menerangkan bahwa wajib pajak memenuhi kriteria sebagai wajib pajak yang memiliki omzet tidak lebih dari Rp4,8 miliar sesuai dengan PP 55/2022.

Nah, sekarang teman-teman sudah tau kan perbedaan antara kedua surat tersebut. Kalau begitu, kita balik lagi ke pembahasan terkait suket. Jadi, suket perlu diberikan kepada pemotong/pemungut PPh, agar wajib pajak UMKM hanya dikenakan pemotongan sebesar 0,5% ketika melakukan penjualan atau penyerahan jasa kepada pihak pemotong/pemungut. Berdasarkan Pasal 11 ayat (2) PMK 164/2023, untuk mengajukan permohonan suket dapat dilakukan dengan 3 cara, yakni:

  1. Secara langsung
  2. Melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
  3. Secara elektronik
Batas Berlakunya Surat Keterangan

Suket berlaku sejak tanggal diterbitkan sampai dengan berakhirnya jangka waktu pemanfaatan skema PPh final UMKM, yaitu:

  • 3 tahun pajak bagi wajib pajak badan berbentuk Perseroan Terbatas (PT).
  • 4 tahun bagi wajib pajak badan berbentuk Koperasi, CV, Firma, dan Perseroan Perorangan (PT Perorangan).
  • 7 tahun bagi wajib pajak orang pribadi.

***

Penulis: Anggita Mutiara Sari Siregar

REFERENSI:

[1] Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 164 Tahun 2023

[2] Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022

Bagikan :