Menyelami Aspek Perpajakan atas Transaksi Kripto di Indonesia

Perbincangan tentang kripto semakin mendapat perhatian dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia. Banyak kaum muda yang tertarik untuk investasi kripto, karena dinilai lebih menguntungkan daripada investasi saham.

Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) mencatat nilai transaksi aset kripto di Indonesia telah mencapai Rp556,53 trilun sepanjang Januari hingga November 2024. Nilai tersebut meningkat 356,16% dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya, yakni sebesar Rp122 triliun.

Baca juga: PMK 15/2025 tentang Pemeriksaan Pajak Berlaku, Begini Detailnya

Besarnya nilai transaksi aset kripto di Indonesia menunjukkan bahwa sektor ekonomi digital memiliki potensi besar dalam meningkatkan penerimaan negara. Oleh karena itu, melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68 Tahun 2022 s.t.d.t.d. PMK Nomor 81 Tahun 2024, pemerintah memberlakukan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) atas transaksi aset kripto di Indonesia.

Kripto Bukan Alat Pembayaran yang Sah

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Neilmaldrin Noor bahwa aset kripto di Indonesia tidak dianggap sebagai alat tukar maupun surat berharga, melainkan komoditi yang dapat diperdagangkan di bursa berjangka.

Hal serupa juga disampaikan oleh Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menegaskan virtual currency bukan merupakan alat pembayaran yang sah di Indonesia. Satu-satunya alat pembayaran yang sah di Indonesia adalah Rupiah.

Baca juga: Atur Pelaksanaan Coretax, Pemerintah Terbitkan PMK 81/2024

Virtual currency adalah uang digital yang diterbitkan oleh pihak selain otoritas moneter yang diperoleh dengan cara mining, pembelian, atau transfer pemberian (reward). Dalam Pasal 202 Peraturan Bank Indonesia Nomor 23/6/PBI/2021 disebutkan bahwa contoh dari virtual currency, yaitu Bitcoin, BlackCoin, Dash, Dogecoin, Litecoin, Namecoin, Nxt, Peercoin, Primecoin, Ripple, dan Ven.

Alasan Kripto Dikenakan PPN dan PPh

Pemerintah mengenakan pajak terhadap aset kripto tentunya bukan tanpa alasan. Pertama, karena aset kripto merupakan komoditas, maka tergolong sebagai Barang Kena Pajak (BKP) tidak berwujud yang harus dikenai PPN.

Menurut Pasal 1 angka 199 PMK 81/2024, aset kripto adalah komoditi tidak berwujud yang berbentuk aset digital, menggunakan kriptografi, jaringan peer-to-peer, dan buku besar yang terdistribusi untuk mengatur penciptaan unit baru, memverifikasi transaksi, dan mengamankan transaksi tanpa campur tangan pihak lain.

Baca juga: RESMI! Semua PKP dapat mengakses e-Faktur Client Desktop

Berdasarkan definisi tersebut, aset kripto memenuhi kriteria sebagai objek PPN berupa BKP tidak berwujud sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 s.t.d.t.d. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021.

Kedua, karena perdagangan aset kripto memberikan tambahan kemampuan ekonomis bagi penjual sehingga merupakan objek pajak dan dipungut PPh Pasal 22 final.

PPN atas Transaksi Perdagangan

Pasal 343 ayat (1) PMK 81/2024 mengatur bahwa penyerahan BKP tidak berwujud berupa aset kripto dikenai PPN dengan besaran tertentu. Lebih lanjut, dalam Pasal 343 ayat (2) PMK 81/2024 besaran tertentu ditetapkan sebesar:

  1. 1% dari tarif PPN dikali dengan nilai transaksi aset kripto, jika exchanger terdaftar di Bappebti.
  2. 2% dari tarif PPN dikali dengan nilai transaksi aset kripto, jika exchanger tidak terdaftar di Bappebti.

Adapun, tarif PPN yang dikenakan sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 11 Tahun 2025 tetap sebesar 11%, meski tarif PPN dalam undang-undang (statutory tax rate) sudah naik menjadi 12% sejak 1 Januari 2025.

Baca juga: Baru! 16 Peraturan yang Direvisi melalui PMK 11/2025

Perlu digarisbawahi, tarif PPN 12% hanya dikenakan untuk barang-barang yang tergolong mewah, sedangkan transaksi perdagangan berjangka komoditi (PBK) dan aset kripto tidak termasuk dalam golongan barang mewah. Jadi, tidak dikenai PPN 12%.

Berikut perbandingan perhitungan PPN atas perdagangan aset kripto sebelum dan setelah berlakunya PMK 11/2025.

Keterangan

Sebelum PMK 11/2025 berlaku

Setelah PMK 11/2025 berlaku

Jika exchanger terdaftar di Bappebti.
  • 1% x 11% x nilai transaksi aset kripto.
  • Atau 0,11% x nilai transaksi aset kripto.

1% x (11/12 x 12%) x nilai transaksi aset kripto.

 

Jika exchanger tidak terdaftar di Bappebti.
  • 2% x 11% x nilai transaksi aset kripto.
  • Atau 0,22% x nilai transaksi aset kripto.
2% x (11/12 x 12%) x nilai transaksi aset kripto.

 

Dengan formula di atas (11/12 x 12%), tarif efektif PPN atas perdagangan aset kripto tetap sebesar 0,11% atau 0,22%. Hanya saja, mekanisme perhitungan PPN-nya yang berbeda.

PPh atas Transaksi Perdagangan

Dalam Pasal 357 ayat (1) PMK 81/2024 disebutkan penghasilan yang diterima atau diperoleh penjual aset kripto sehubungan dengan transaksi aset kripto merupakan objek PPh. Berikutnya, sesuai dengan Pasal 358 ayat (2) PMK 81/2024, penghasilan dari transaksi aset kripto dikenakan PPh Pasal 22 dan bersifat final. Artinya, PPh tersebut tidak akan dihitung lagi dalam Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan PPh wajib pajak, tetapi hanya dilaporkan.

Baca juga: Beli Tiket Konser Bruno Mars? Artinya Kamu Ikut Sumbang Pajak Ke Daerah

Dalam menghitung PPh Pasal 22, terdapat 2 ketentuan tarif yang berlaku. Pertama, tarif PPh Pasal 22 final sebesar 0,1% dari nilai transaksi aset kripto (jika exchanger terdaftar di Bappebti). Kedua, tarif PPh Pasal 22 final sebesar 0,2% dari nilai transaksi aset kripto (jika exchanger tidak terdaftar di Bappebti).

Contoh Perhitungan

Penjual A menjual 1 unit Bitcoin (BTC) seharga Rp500.000.000 ke Pembeli B. Transaksi dilakukan di Indodax, sebuah platform Pedagang Fisik Aset Kripto (PFAK) yang terdaftar di Bappebti. Indodax berkewajiban untuk memungut:

  • PPN dari Pembeli B: Rp500.000.000 x 0,11% = 000
  • PPh Pasal 22 dari Penjual A: Rp500.000.000 x 0,1% = 000

Berdasarkan perhitungan di atas, dapat sobat MTC ketahui bahwa pihak yang melepas aset kripto (penjual) dikenakan PPh Pasal 22 final. Sedangkan, pihak yang menerima aset kripto (pembeli) dikenakan PPN. Nantinya, biaya pajak akan otomatis ditambahkan dalam biaya transaksi dan langsung dipotong. Terkait pemungutan dan penyetoran pajak ke kas negara akan dilakukan oleh Indodax sebagai exchanger.

Merujuk pada Pasal 344 ayat (4) PMK 81/2024 penyetoran PPN yang telah dipungut dilakukan paling lambat akhir bulan berikutnya setelah masa pajak dilakukannya pemungutan. Sedangkan, penyetoran PPh Pasal 22 yang telah dipungut dilakukan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Hal ini sesuai yang tercantum dalam Pasal 358 ayat (12) PMK 81/2024.

***

Penulis: Anggita Mutiara Sari Siregar

REFERENSI:

[1] PMK Nomor 81 Tahun 2024

[2] Peraturan Bank Indonesia Nomor 23/6/PBI/2021

[3] PMK Nomor 11 Tahun 2025

Bagikan :