Krisis iklim merupakan ancaman nyata yang dihadapi dunia saat ini. Kenaikan suhu global hingga cuaca ekstrem menjadi bukti bahwa bumi kita sedang tidak baik-baik saja. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) António Guterres mengatakan bahwa bumi sudah memasuki era pendidihan global atau global boiling, bukan lagi pemanasan global atau global warming.
Penyebab utama terjadinya krisis iklim adalah ulah manusia (antropogenik). Hampir seluruh aktivitas manusia berkontribusi terhadap kenaikan emisi gas rumah kaca, terutama karbon dioksida (CO2) yang dihasilkan dari penggunaan bahan bakar fosil. Krisis iklim tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga memengaruhi kondisi ekonomi dan sosial.
Maka dari itu, pemerintah Indonesia harus mengambil langkah tepat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, salah satunya melalui instrumen kebijakan fiskal, yakni pajak karbon atau carbon tax. Hal ini sejalan dengan Paris Agreement yang telah diratifikasi Indonesia yang di dalamnya terdapat komitmen Nationally Determined Contribution (NDC). Dalam dokumen NDC tersebut, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030.
Apa itu Pajak Karbon?
Pajak karbon merupakan salah satu jenis pigouvian tax. Sebutan ini diambil dari nama seorang ahli ekonomi asal Inggris, yaitu Arthur Cecil Pigou. Singkatnya, pigouvian tax adalah pajak yang dikenakan atas setiap kegiatan ekonomi yang menghasilkan eksternalitas negatif.
Dalam konteks pajak karbon, pembakaran bahan bakar fosil, seperti minyak bumi, gas alam, dan batubara menghasilkan emisi gas rumah kaca yang berpotensi mengakibatkan kerusakan lingkungan (eksternalitas negatif). Untuk meminimalisir eksternalitas negatif tersebut, pajak karbon dikenakan pada setiap aktivitas yang menghasilkan emisi karbon.
Dengan kata lain, pajak karbon “memaksa” pelaku ekonomi untuk mencari alternatif yang lebih ramah lingkungan, seperti menggunakan energi baru terbarukan (EBT) atau memproduksi barang dengan emisi karbon yang lebih rendah.
Baca juga: Menilik Perlakuan Pajak Penghasilan atas Beasiswa
Implementasi Pajak Karbon
Payung hukum pajak karbon tercantum dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Merujuk pada Pasal 17 ayat (3) UU HPP, pajak karbon direncanakan berlaku mulai 1 April 2022. Sektor yang pertama kali dikenakan adalah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara dengan mekanisme cap and tax. Nantinya, PLTU akan dikenakan tarif paling rendah Rp30.000 per ton CO2 ekuivalen, jika menghasilkan karbon melebihi cap (batas emisi karbon) yang ditetapkan. Namun, pemerintah memutuskan untuk menunda implementasi pajak karbon hingga Juli 2022, karena roadmap pajak karbon yang belum rampung.
Hingga Juli 2022, implementasi pajak karbon kembali ditunda dan pemerintah tidak memberikan kepastian kapan pajak karbon akan diberlakukan. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu mengatakan situasi geopolitik yang serba tidak pasti mengharuskan pemerintah lebih berhati-hati dalam menerapkan pajak karbon. Febrio pun belum dapat memberikan kepastian mengenai waktu dimulainya implementasi pajak karbon.
Penundaan implementasi pajak karbon memang menjadi sebuah dilema. Di satu sisi, pemerintah perlu menjaga stabilitas ekonomi nasional. Di sisi lain, pemerintah juga memiliki tanggung jawab untuk mencapai target penurunan emisi yang telah ditetapkan. Namun, penundaan terus menerus bukanlah sebuah solusi. Hal ini tentu dapat mengurangi rasa kepercayaan pelaku ekonomi terhadap komitmen pemerintah.
Penulis berharap pemerintah benar-benar sudah mempersiapkan regulasi pajak karbon yang komprehensif agar implementasi pajak karbon nantinya dapat membawa dampak positif bagi seluruh aspek terkait. Selain itu, pemerintah juga bisa belajar dari pengalaman negara-negara lain yang telah berhasil menerapkan pajak karbon, seperti Singapura dan Jepang.
Pajak Karbon dalam Mewujudkan Green Economy
Selain bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, pajak karbon juga bertujuan untuk mengubah perilaku pelaku ekonomi untuk beralih kepada aktivitas ekonomi hijau atau green economy yang rendah karbon. Green economy adalah model ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia dan mengurangi dampak buruk terhadap lingkungan. Dalam penerapannya, green economy akan memperhatikan keseimbangan tiga aspek, yaitu 3P (People, Planet, and Profit).
Bicara soal green economy, tentu memiliki kaitan yang sangat erat dengan penggunaan EBT. Tidak seperti bahan bakar fosil, penggunaan EBT tidak menghasilkan emisi gas rumah kaca, sehingga lebih ramah lingkungan.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), potensi EBT yang dimiliki Indonesia tercatat mencapai 4 Tera Watt (TW) atau sekitar 3.687 Gigawatt (GW). Sayangnya, pemanfaatan EBT masih jauh di bawah potensinya, karena transisi energi membutuhkan biaya besar dan infrastruktur yang memadai. Maka dari itu, diharapkan pendapatan dari pajak karbon dapat dialokasikan dengan efektif, seperti untuk pengembangan EBT, investasi teknologi hijau atau ramah lingkungan, serta memberikan bantuan kepada masyarakat berpendapatan rendah yang terdampak oleh kenaikan harga akibat pajak karbon.
Baca juga: Benarkah Warisan Bebas Pajak? Cek Faktanya Disini!
Tantangan Implementasi Pajak Karbon
Dalam implementasi pajak karbon, terdapat beberapa tantangan yang dihadapi oleh pemerintah. Pertama, stabilitas ekonomi dan bisnis terganggu. Pajak karbon akan menyebabkan biaya produksi naik. Biaya produksi naik, harga barang akan menjadi lebih mahal. Harga barang mahal, daya beli konsumen menurun. Daya beli konsumen menurun, tentu akan berpengaruh terhadap income atau profitabilitas bisnis. Jika tidak diantisipasi dengan baik, hal ini dapat memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) dan memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Kedua, rendahnya kesadaran dan dukungan publik. Tingkat kesadaran masyarakat Indonesia mengenai perubahan iklim dan pentingnya pajak karbon masih relatif rendah. Kurangnya dukungan publik dapat menjadi hambatan dalam implementasi kebijakan ini.
Ketiga, tarif pajak karbon yang rendah. Jika dibandingkan dengan Singapura yang mengenakan pajak karbon dengan tarif S$25 atau sekitar Rp300.000 per ton CO2 ekuivalen, tarif pajak karbon Indonesia memang tergolong rendah. Mengapa demikian? Karena tujuan utama pemerintah memberlakukan pajak karbon bukan serta merta untuk mencari income baru, melainkan untuk mencapai target penurunan emisi seperti yang tercantum dalam dokumen NDC dan mengubah perilaku pelaku ekonomi untuk beralih kepada aktivitas green economy.
Namun, pengamat menilai tarif pajak karbon yang rendah kurang efektif mengubah perilaku pengusaha secara signifikan. Mengapa demikian? Karena, pengusaha lebih memilih untuk membayar pajak yang murah tanpa memikirkan besaran karbon yang telah dikeluarkan oleh perusahaannya. Selain itu, pengusaha juga lebih memilih untuk membayar pajak yang murah daripada harus mengeluarkan biaya yang besar untuk pengembangan EBT dan investasi teknologi hijau. Kondisi ini tentu akan menyulitkan Indonesia untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca.
Lantas, apa saja solusi yang dapat dipertimbangkan oleh pemerintah untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut?
Pertama, implementasi pajak karbon harus dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan kesiapan sektor dan kondisi ekonomi. Hal ini juga membantu pengusaha untuk melakukan transisi secara perlahan dan menyesuaikan model bisnis mereka. Lalu, pemerintah juga dapat memberikan insentif bagi perusahaan yang berhasil mengurangi emisi karbon, seperti penggunaan teknologi Carbon Capture Storage (CCS)/Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS).
Kedua, pemerintah perlu melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya pajak karbon dan manfaatnya bagi lingkungan.
Ketiga, jika nanti implementasi pajak karbon berhasil diterapkan, Indonesia dapat mengikuti jejak Singapura untuk perlahan menaikkan tarif pajak karbon. Dengan catatan, tetap mengedepankan prinsip keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Penulis memahami bahwa implementasi pajak karbon bukanlah hal yang mudah, karena membawa dampak yang begitu luas, baik itu di sektor ekonomi maupun sosial. Namun, dengan komitmen yang kuat, dukungan berbagai pihak, strategi, dan regulasi yang tepat, pajak karbon dapat menjadi instrumen yang efektif untuk mengurangi emisi karbon sebagai pemicu utama perubahan iklim dan mewujudkan pertumbuhan green economy di Indonesia.
***
Penulis: Anggita Mutiara Sari Siregar
REFERENSI:
[1] UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan